Umar Bhakti
Ketua Harian Hidsi Lampung
Pelaksanaan ujian nasional (UN) tahun ini banyak menimbulkan pro dan kontra karena kebijakan penetapan standar kelulusan (passing grade) sebesar 4,26 dan nilai rata-rata ujian akhir sekolah (UAS) dengan 4,51 dinilai merugikan siswa, apalagi tahun ini pemerintah meniadakan ujian ulangan. Selain itu, UN bertentangan dengan Pasal 58 Ayat (1) UU/20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: "Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan pendidik/guru."
Dalam konteks ujian nasional ini, penilaian guru terhadap proses kelulusan anak didik tidak diperhitungkan. Padahal, berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), guru yang paling mengetahui kompetensi siswa. Sebab itu, penilaian akhir kelulusan siswa ditentukan pendidik dengan mempertimbangkan tiga unsur; afektif, psikomotorik, dan kognitif.
Di lain pihak, standar mutu pendidikan antara satu daerah dan daerah lain masih beragam akibat pemerintah tidak memeratakan standar pelayanan pendidikan baik di kota-kota besar, kabupaten, maupun di daerah terpencil. Akibatnya, peserta UN tidak memiliki bekal sama menghadapi ujian tersebut.
Siswa miskin yang tidak memiliki akses informasi, ditambah faktor minimnya guru berkualitas sangat dirugikan. Apalagi mereka juga harus bergelut dengan kondisi bangunan sekolah yang tidak memadai serta fasilitas penunjang, terutama buku yang tak tersedia.
Berbeda halnya dengan sebagian sekolah yang mapan dengan kualitas guru dan fasilitas sekolah yang sangat memadai. Dengan kondisi itu, tidak mungkin diterapkan sistem penilaian seragam, juga mustahil faktor kelulusan siswa ditentukan hanya tiga mata pelajaran dan diuji dalam waktu satu sampai dua jam. Wajar jika pelaksanaan UN dianggap lebih banyak mudaratnya dibandingkan dengan kebaikannya.
Pertama, UN melegalisasi kecurangan dalam dunia pendidikan. Sebagai contoh, oknum guru memberikan jawaban kepada siswa dengan membacakan jawaban di depan kelas, menukar lembar jawaban komputer siswa, dan memberikan jawaban kepada siswa melalui SMS. Hal ini terjadi karena khawatir tingkat kelulusan siswa rendah, yang akhirnya merugikan nama baik sekolah.
Kedua, penghapusan ujian ulangan. Ini menguatkan kesalahan cara pandang pemerintah terhadap dunia pendidikan. Orientasi siswa diubah menjadi mendapat target angka tertentu. Padahal UN sebaiknya dijadikan sebagai data untuk memetakan kondisi pendidikan nasional, bukan sebagai standar kelulusan siswa.
Penghapusan ujian ulangan akan memengaruhi tingkat kelulusan siswa. Ujian ulangan sangat berperan mengurangi jumlah siswa yang gagal dalam UN. Akibat penghapusan ujian ulangan, banyak siswa terancam tidak melanjutkan sekolah. Ini terjadi terutama pada siswa yang diimpit masalah ekonomi, mereka lebih baik bekerja menjadi nelayan daripada melanjutkan sekolah.
Di lain pihak, adanya ujian persamaan paket A, B, dan C bagi siswa yang tidak lulus UN tahun pelajaran 2005--2006 tidak menyelesaikan masalah. Pasalnya, ujian baru dilaksanakan November, padahal tahun ajaran baru dimulai Juli.
Ketiga, keberadaan tim pemantau independen juga dipertanyakan. Setiap sekolah sudah punya petugas pengawas ujian, yang direkrut sistem silang penuh. Guru-guru dilarang mengawasi siswa dari sekolahnya.
Hal ini mencerminkan keraguan pemerintah terhadap lembaga sekolah. Apalagi tim pemantau independen ditunjuk dari perguruan tinggi oleh pemerintah kabupaten sesuai dengan ketentuan Badan Standar Nasional Pendidikan.
Sedangkan, bagi daerah yang tidak memiliki perguruan tinggi, tim pemantau independen ditunjuk dari aparat kecamatan dan kelurahan. Padahal, anak-anak mereka juga ikut ujian. Informasi dari daerah tidak ada perguruan tinggi, pengawasan ini tidak berjalan efektif.
Tingkatkan Kerja Keras
Namun, kebijakan pemerintah menerapkan standar kelulusan tidak lain agar kualitas siswa di Indoensia meningkat dengan semangat bekerja keras dan berkompetisi pada diri siswa, guru, dan kepala sekolah. Menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, penyelenggaraan UN masih perlu dilakukan untuk menciptakan kerja keras di kalangan peserta didik. "Pentingnya UN untuk menciptakan kultur kerja keras, tidak lembek di kalangan peserta didik," kata Bambang Sudibyo.
Penyelenggaraan UN berdasarkan UU 20/2003 tentang Sisdiknas pada Pasal 57 menyebutkan pemerintah diberi mandat mengevaluasi dan mengendalikan mutu pendidikan secara nasional baik terhadap peserta didik maupun terhadap lembaga pendidikan. Ke depan anggaran pendidikan akan mencapai Rp85 Triliun.
Perinciannya Rp17 triliun ke Departemen Agama dan Rp68 triliun untuk Depdiknas. Anggaran tersebut nantinya lebih banyak jatuh ke kalangan siswa, guru, kepala sekolah, dan tenaga pendidikan lainnya.
Tak ada gading yang tak retak. Pepatah ini sesuai untuk menggambarkan carut-marut pelaksaan UN. Yang penting, pelaksanaan UN tahun ini sudah berlalu. Sebab itu, kendala teknis harus diminimalisasi untuk kerja tahun depan.
Sebab, meskipun pelaksanaan UN lebih banyak mudaratnya, tujuan mulia UN untuk kerja keras dan meningkatkan kualitas siswa harus dipertahankan. Apalagi kesejahteraan guru dengan terbitnya UU Guru dan Dosen akan meningkat dengan adanya sertifikasi yang memberikan tunjangan fungsional. Selain itu, perlunya pembinaan dan bimbingan pemerintah, khususnya bagi sekolah yang berkualitas rendah.
Pelaksanaan ujian nasional (UN) tahun ini banyak menimbulkan pro dan kontra karena kebijakan penetapan standar kelulusan (passing grade) sebesar 4,26 dan nilai rata-rata ujian akhir sekolah (UAS) dengan 4,51 dinilai merugikan siswa, apalagi tahun ini pemerintah meniadakan ujian ulangan. Selain itu, UN bertentangan dengan Pasal 58 Ayat (1) UU/20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: "Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan pendidik/guru."
Dalam konteks ujian nasional ini, penilaian guru terhadap proses kelulusan anak didik tidak diperhitungkan. Padahal, berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), guru yang paling mengetahui kompetensi siswa. Sebab itu, penilaian akhir kelulusan siswa ditentukan pendidik dengan mempertimbangkan tiga unsur; afektif, psikomotorik, dan kognitif.
Di lain pihak, standar mutu pendidikan antara satu daerah dan daerah lain masih beragam akibat pemerintah tidak memeratakan standar pelayanan pendidikan baik di kota-kota besar, kabupaten, maupun di daerah terpencil. Akibatnya, peserta UN tidak memiliki bekal sama menghadapi ujian tersebut.
Siswa miskin yang tidak memiliki akses informasi, ditambah faktor minimnya guru berkualitas sangat dirugikan. Apalagi mereka juga harus bergelut dengan kondisi bangunan sekolah yang tidak memadai serta fasilitas penunjang, terutama buku yang tak tersedia.
Berbeda halnya dengan sebagian sekolah yang mapan dengan kualitas guru dan fasilitas sekolah yang sangat memadai. Dengan kondisi itu, tidak mungkin diterapkan sistem penilaian seragam, juga mustahil faktor kelulusan siswa ditentukan hanya tiga mata pelajaran dan diuji dalam waktu satu sampai dua jam. Wajar jika pelaksanaan UN dianggap lebih banyak mudaratnya dibandingkan dengan kebaikannya.
Pertama, UN melegalisasi kecurangan dalam dunia pendidikan. Sebagai contoh, oknum guru memberikan jawaban kepada siswa dengan membacakan jawaban di depan kelas, menukar lembar jawaban komputer siswa, dan memberikan jawaban kepada siswa melalui SMS. Hal ini terjadi karena khawatir tingkat kelulusan siswa rendah, yang akhirnya merugikan nama baik sekolah.
Kedua, penghapusan ujian ulangan. Ini menguatkan kesalahan cara pandang pemerintah terhadap dunia pendidikan. Orientasi siswa diubah menjadi mendapat target angka tertentu. Padahal UN sebaiknya dijadikan sebagai data untuk memetakan kondisi pendidikan nasional, bukan sebagai standar kelulusan siswa.
Penghapusan ujian ulangan akan memengaruhi tingkat kelulusan siswa. Ujian ulangan sangat berperan mengurangi jumlah siswa yang gagal dalam UN. Akibat penghapusan ujian ulangan, banyak siswa terancam tidak melanjutkan sekolah. Ini terjadi terutama pada siswa yang diimpit masalah ekonomi, mereka lebih baik bekerja menjadi nelayan daripada melanjutkan sekolah.
Di lain pihak, adanya ujian persamaan paket A, B, dan C bagi siswa yang tidak lulus UN tahun pelajaran 2005--2006 tidak menyelesaikan masalah. Pasalnya, ujian baru dilaksanakan November, padahal tahun ajaran baru dimulai Juli.
Ketiga, keberadaan tim pemantau independen juga dipertanyakan. Setiap sekolah sudah punya petugas pengawas ujian, yang direkrut sistem silang penuh. Guru-guru dilarang mengawasi siswa dari sekolahnya.
Hal ini mencerminkan keraguan pemerintah terhadap lembaga sekolah. Apalagi tim pemantau independen ditunjuk dari perguruan tinggi oleh pemerintah kabupaten sesuai dengan ketentuan Badan Standar Nasional Pendidikan.
Sedangkan, bagi daerah yang tidak memiliki perguruan tinggi, tim pemantau independen ditunjuk dari aparat kecamatan dan kelurahan. Padahal, anak-anak mereka juga ikut ujian. Informasi dari daerah tidak ada perguruan tinggi, pengawasan ini tidak berjalan efektif.
Tingkatkan Kerja Keras
Namun, kebijakan pemerintah menerapkan standar kelulusan tidak lain agar kualitas siswa di Indoensia meningkat dengan semangat bekerja keras dan berkompetisi pada diri siswa, guru, dan kepala sekolah. Menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, penyelenggaraan UN masih perlu dilakukan untuk menciptakan kerja keras di kalangan peserta didik. "Pentingnya UN untuk menciptakan kultur kerja keras, tidak lembek di kalangan peserta didik," kata Bambang Sudibyo.
Penyelenggaraan UN berdasarkan UU 20/2003 tentang Sisdiknas pada Pasal 57 menyebutkan pemerintah diberi mandat mengevaluasi dan mengendalikan mutu pendidikan secara nasional baik terhadap peserta didik maupun terhadap lembaga pendidikan. Ke depan anggaran pendidikan akan mencapai Rp85 Triliun.
Perinciannya Rp17 triliun ke Departemen Agama dan Rp68 triliun untuk Depdiknas. Anggaran tersebut nantinya lebih banyak jatuh ke kalangan siswa, guru, kepala sekolah, dan tenaga pendidikan lainnya.
Tak ada gading yang tak retak. Pepatah ini sesuai untuk menggambarkan carut-marut pelaksaan UN. Yang penting, pelaksanaan UN tahun ini sudah berlalu. Sebab itu, kendala teknis harus diminimalisasi untuk kerja tahun depan.
Sebab, meskipun pelaksanaan UN lebih banyak mudaratnya, tujuan mulia UN untuk kerja keras dan meningkatkan kualitas siswa harus dipertahankan. Apalagi kesejahteraan guru dengan terbitnya UU Guru dan Dosen akan meningkat dengan adanya sertifikasi yang memberikan tunjangan fungsional. Selain itu, perlunya pembinaan dan bimbingan pemerintah, khususnya bagi sekolah yang berkualitas rendah.