Dinamika Islam
1. Fase Ekspansi
Dalam fase ekspansi ini kehadiran telah cukup banyak mendapat perhatian dan telah para pemikir dan sejarawan dari berbagai kalangan. Berbagai pendapat dan teori yang membincang persoalan tersebut membuktikan bahwa tema Islam memang menarik untuk dikaji terlebih dinegeri yang dikenal mayoritas penduduknya muslim. Maka tak berlebihan studi mengenai latar historis dan proses perkembangan selanjutnya dari agama ini sehingga beroleh tempat dan mampu mengikat begitu banyak pengikut di wilayah ini. Cukup punya nilai guna memahami dan memaknai lebih dalam dinamika keberagamaan Islam dalam konteks kontemporer di Indonesia.
Lokus diskusi mengenai kedatangan Islam di Indonesia Sejauh ini berkisar pada tiga tema utama, yakni : tempat asal kedatangannya, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Hal lain yang juga patut diperhatikan adalah dimensi proses dari interaksi awal dan lanjutan antara Islam dan penduduk lokal dan berikut konstruk kepercayaan atau agama yang telah ada sebelumnya.
Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, dikalangan para sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansyur Suryanegara mengikhtisarkannya menjadi tiga teori besar : Pertama, teori Gujarat. Islam dipercaya datang dari Gujarat-India melalui peran para pedagang India Muslim pada sekitar abad ke-13 M. Kedua, teori Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab Muslim sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke13 M.
Teori tersebut jika ditelaah lebih jauh lagi sesungguhnya memiliki variasi pendapat yang cukup beragam. Terkait teori yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari anak benua India, misalnya, ternyata sejarawan tidak satu kata mengenai wilayah Gujarat. Pendapat Pijnappel yang juga disokong oleh C. Snouck Hurgronje, J.P Moquette, E.O. Winstedt, B.J.O Schrieke, dan lain-lainnya tersebut ternyata berbeda dengan yang dikemukakan oleh S.Q Fatimi dan G.E Morison. Fatimi menyatakan bahwa bukti epigrafis berupa nisan yang dipercaya diimpor dari Cambay-Gujarat sebenarnya bentuk dan gayanya justru lebih mirip dengan nisan yang berasal dari Bengal. Sementara Morison lebih mempercayai bahwa islam di Indonesia bermula dari Pantai Coromandel. Sebab menurutnya pada masa Islamisasi kerajaan samudera dimana raja pertamanya (Malik Al-saleh) wafat tahun 1297 M.
Saat itu Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Baru setahun kemudian kekuasaan Islam menaklukkan Gujarat. Jika Islam berasal dari sana tentunya Islam telah menjadi agama yang mapan dan berkembang ditempat itu. Adapun bukti epigrafis dari Gujarat atau Bengal tidaklah serta merta menunjukkan bahwa agama Islam juga “diimpor” dari tempat yang sama.
Sedankan tentang teori Islam Indonesia berasal langsung dari Makkah (yang antara lain dikemukakan oleh T.W Arnold dan Crawford) lebih didasarkan pada beberapa fakta tertulis dari beberapa pengembara Cina sekitar abad ke-7 M, dimana kala itu kekuatan Islam telah menjadi dominan dalam perdagangan Barat-Timur, Bahwa ternyata dipesisir pantai Sumatera telah ada komunitas Muslim yang terdiri dari pedagang asal Arab yang diantaranya melakukan pernikahan dengan perempuan-perempuan local. Terdapat juga sebuah kitab ‘Aja’ib al-Hind yang ditulis al-Ramhurmuzi sekitar tahun 1000 M. Dikatakan bahwa para pedagang Muslim telah banyak berkunjung kala itu ke kerajaan Sriwijaya. Dan di wilayah itupun telah tumbuh komunitas Muslim local. Semantara variasi pendapat lain dikemukakan oleh Keijzer bahwa Islam nusantara berasal dari Mesir berdasar kesamaan madzhab (Shafi’i). Sedangkan Niemann dan de Hollander mengemukakan teori Islam nusantara berasal dari Hadramaut (wilayah Yaman).
Teori Persia yang dikemukakan oleh sebagian sejarawan di Indonesia tampaknya kurang popular dibanding teori-teori sebelumnya. Pada konteks ini menarik jika pendapat Naguib al-Attas seorang pendukung teori Arab dihadirkan sebagai komparasi. Dalam mengkaji Islam nusantara al-Attas lebih tertarik untuk mendasarkan argumentasinya pada bukti-bukti konseptual dan liberatur, dibanding bukti-bukti sebagaimana para pemikir sebelumnya. Dalam “Teori umum tentang Islamisasi nusantara”-nya tersebut al-Attas menyebutkan bahwa karasteristik internal Islam yang beredar di nusantara lebih cenderung berasal langsung dari Arab. Dari berbagai liberatur Islam yang beredar dinusantara sebelum abad ke-17 M, tak satupun pengarangnya adalah orang India. Bahkan sebagian penulis yang dipercaya beberapa sarjana Barat sebagaian berasal dari India atau Persia. Jika ditelisik ternyata berasal dari Arab baik Etnis maupun Kultural. Adapum mengenai bukti epigrafis Moquette, al-Attas menolaknya dan menyatakan bahwa kemunculan nisan-nisan dari India tersebut hanya Karena faktor kedekatan lokasi saja (dalam konteks perdagangan).
Dalam fase ekspansi ini kehadiran telah cukup banyak mendapat perhatian dan telah para pemikir dan sejarawan dari berbagai kalangan. Berbagai pendapat dan teori yang membincang persoalan tersebut membuktikan bahwa tema Islam memang menarik untuk dikaji terlebih dinegeri yang dikenal mayoritas penduduknya muslim. Maka tak berlebihan studi mengenai latar historis dan proses perkembangan selanjutnya dari agama ini sehingga beroleh tempat dan mampu mengikat begitu banyak pengikut di wilayah ini. Cukup punya nilai guna memahami dan memaknai lebih dalam dinamika keberagamaan Islam dalam konteks kontemporer di Indonesia.
Lokus diskusi mengenai kedatangan Islam di Indonesia Sejauh ini berkisar pada tiga tema utama, yakni : tempat asal kedatangannya, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Hal lain yang juga patut diperhatikan adalah dimensi proses dari interaksi awal dan lanjutan antara Islam dan penduduk lokal dan berikut konstruk kepercayaan atau agama yang telah ada sebelumnya.
Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, dikalangan para sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansyur Suryanegara mengikhtisarkannya menjadi tiga teori besar : Pertama, teori Gujarat. Islam dipercaya datang dari Gujarat-India melalui peran para pedagang India Muslim pada sekitar abad ke-13 M. Kedua, teori Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab Muslim sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke13 M.
Teori tersebut jika ditelaah lebih jauh lagi sesungguhnya memiliki variasi pendapat yang cukup beragam. Terkait teori yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari anak benua India, misalnya, ternyata sejarawan tidak satu kata mengenai wilayah Gujarat. Pendapat Pijnappel yang juga disokong oleh C. Snouck Hurgronje, J.P Moquette, E.O. Winstedt, B.J.O Schrieke, dan lain-lainnya tersebut ternyata berbeda dengan yang dikemukakan oleh S.Q Fatimi dan G.E Morison. Fatimi menyatakan bahwa bukti epigrafis berupa nisan yang dipercaya diimpor dari Cambay-Gujarat sebenarnya bentuk dan gayanya justru lebih mirip dengan nisan yang berasal dari Bengal. Sementara Morison lebih mempercayai bahwa islam di Indonesia bermula dari Pantai Coromandel. Sebab menurutnya pada masa Islamisasi kerajaan samudera dimana raja pertamanya (Malik Al-saleh) wafat tahun 1297 M.
Saat itu Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Baru setahun kemudian kekuasaan Islam menaklukkan Gujarat. Jika Islam berasal dari sana tentunya Islam telah menjadi agama yang mapan dan berkembang ditempat itu. Adapun bukti epigrafis dari Gujarat atau Bengal tidaklah serta merta menunjukkan bahwa agama Islam juga “diimpor” dari tempat yang sama.
Sedankan tentang teori Islam Indonesia berasal langsung dari Makkah (yang antara lain dikemukakan oleh T.W Arnold dan Crawford) lebih didasarkan pada beberapa fakta tertulis dari beberapa pengembara Cina sekitar abad ke-7 M, dimana kala itu kekuatan Islam telah menjadi dominan dalam perdagangan Barat-Timur, Bahwa ternyata dipesisir pantai Sumatera telah ada komunitas Muslim yang terdiri dari pedagang asal Arab yang diantaranya melakukan pernikahan dengan perempuan-perempuan local. Terdapat juga sebuah kitab ‘Aja’ib al-Hind yang ditulis al-Ramhurmuzi sekitar tahun 1000 M. Dikatakan bahwa para pedagang Muslim telah banyak berkunjung kala itu ke kerajaan Sriwijaya. Dan di wilayah itupun telah tumbuh komunitas Muslim local. Semantara variasi pendapat lain dikemukakan oleh Keijzer bahwa Islam nusantara berasal dari Mesir berdasar kesamaan madzhab (Shafi’i). Sedangkan Niemann dan de Hollander mengemukakan teori Islam nusantara berasal dari Hadramaut (wilayah Yaman).
Teori Persia yang dikemukakan oleh sebagian sejarawan di Indonesia tampaknya kurang popular dibanding teori-teori sebelumnya. Pada konteks ini menarik jika pendapat Naguib al-Attas seorang pendukung teori Arab dihadirkan sebagai komparasi. Dalam mengkaji Islam nusantara al-Attas lebih tertarik untuk mendasarkan argumentasinya pada bukti-bukti konseptual dan liberatur, dibanding bukti-bukti sebagaimana para pemikir sebelumnya. Dalam “Teori umum tentang Islamisasi nusantara”-nya tersebut al-Attas menyebutkan bahwa karasteristik internal Islam yang beredar di nusantara lebih cenderung berasal langsung dari Arab. Dari berbagai liberatur Islam yang beredar dinusantara sebelum abad ke-17 M, tak satupun pengarangnya adalah orang India. Bahkan sebagian penulis yang dipercaya beberapa sarjana Barat sebagaian berasal dari India atau Persia. Jika ditelisik ternyata berasal dari Arab baik Etnis maupun Kultural. Adapum mengenai bukti epigrafis Moquette, al-Attas menolaknya dan menyatakan bahwa kemunculan nisan-nisan dari India tersebut hanya Karena faktor kedekatan lokasi saja (dalam konteks perdagangan).